Papua Pemekaran 3 Provinsi Baru, Ini Tanggapan GTP UGM
Nasional - Hasil rapat paripurna Kamis (30/6) lalu DPR mengesahkan 3 UU terkait dengan pemekaran provinsi Papua, antara lain Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, Dan Provinsi Papua Pegunungan.
Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada ( GTP UGM ) merespon pengesahan RUU ini dengan mengadakan papua strategic policy forum ( PSPF )ke-12 dengan tema " Pemekaran Sebagai Resolusi Konflik ". Acara tersebut merupakan agenda rutin yang dilaksankan oleh GTP UGM dan PPKK FISIPOL UGM dengan mengangkat berbagai tajuk mengenai Papua.
Dr. Gabriel Lele selaku ketua Gugus Tugas Papua UGM mengatakan gtp ugm berupaya menekankan trasnformasi konflik sebagai kerangka pemekaran papua. Menurutnya, hal tersebut harus diterjemahkan dalam berbagai aspek kultural maupun struktural serta negara juga wajib memberikan intervensi secara menyeluruh.
"GTP UGM memberikan perhatian khusus pada aspek-aspek mikro seperti relasi orang asli Papua (OAP) dengan migran, hak ulayat, perekonomian yang berpihak pada OAP serta inklusivitas politik dan birokrasi," ucapnya dikutip dari laman resmi UGM, Sabtu (9/7/2022).
"Hal ini diharapkan mampu memberikan warna dalam proses transformasi konflik," imbuhnya.
Direktur Penataan Daerah, Otonimi Khusus, dan DPOP Kementerian Dalam Negeri, Valentinus Sudarjanto, mengatakan terkait pro dan kontra yang timbul pemekaran tiga provinsi baru di Tanah papua sebenarnya merupakan aspirasi dari masyarakat dan juga elite papua. Untuk mengatasi pro dan kontra ini, pihaknya tealh memetakan faktor pendukung penmekaran provinsi papua.
Misalnya terkait konfigurasi politik lokal, khususnya polarisasi antara masyarakat pegunungan dan pesisir. Faktor lain, sambungnya, yakni kondisi geografis yang sangat luas dan rumit, adanya aspirasi yang kuat, dan adanya best practice ketika pemekaran Provinsi Irian Jaya Barat (Papua Barat) yang berhasil dengan baik.
Valent juga menyampaikan, pemerintah telah menyusun roadmap pelaksanaan operasionalisasi penyelenggaraan pemerintahan di provinsi baru.
Roadmap ini, lanjutnya, mencakup pelantikan Pj. Gubernur, peresmian provinsi, pembentukan perangkat daerah/manajemen ASN, serta pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP).
"Kami juga telah mendesain penyusunan peraturan gubernur tentang R-APBD, pengisian DPR RI, DPD RI, dan DPRP. Penetapan daerah pemilihan pemilu 2024 juga sudah diatur hingga sampai pengalihan aset dan dokumen, penyusunan rencana tata ruang wilayah, penyiapan sarana dan prasarana pemerintahan, pengalokasian dana hibah, serta pembinaan, pengawasan, dan evaluasi," tutur Valent.
Antisipasi Konflik Lanjutan
Di sisi lain, Asisten Deputi Koordinasi Otonomi Khusus pada Deputi Bidang Koordinasi Politik Dalam Negeri Kemenko Polhukam, Brigjen TNI Danu Prionggo, mengatakan pemerintah telah memetakan potensi kemungkinan terjadinya konflik pra maupun pasca pemekaran.
"Misalnya potensi penolakan DOB, penentuan cakupan wilayah, penentuan ibu kota, pengisian jabatan politik dan pemerintahan, menguatnya arus migrasi ke Papua, serta konflik kepemilikan tanah," ungkap Danu.
Kekhawatiran tersebut juga disadari akademisi Universitas Cenderawasih, Dr. Basir Rohromana yang mengatakan bahwa berbagai potensi konflik tersebut merupakan potensi konflik lanjutan masa lalu.
"Banyak konflik lanjutan, seperti tarik menarik ibu kota, disorientasi, stigmatisasi, dan lain-lain," ungkap Basir.
Menurutnya, pemerintah telah melakukan langkah-langkah strategis pengelolaan potensi konflik pemekaran dimulai dari komunikasi politik dengan elit lokal, komunikasi sosial kepada masyarakat, hingga melakukan pendekatan kultural kepada masyarakat melalui pemerintah daerah.
Memberi Kesejahteraan untuk OAP
Sementara itu, Deputi Bidang Politik dan Pemerintahan Jaringan Damai Papua (JDP) Pares L. Wenda juga memberi catatan tentang pemekaran, agar dapat menyejahterakan OAP dan tidak elitis.
Pares berharap pemekaran dapat memberikan garansi agar pelanggaran HAM dan marjinalisasi OAP tidak terjadi lagi.
Pembangunan pasca pemekaran juga diharapkan dapat menyentuh OAP hingga akar rumput.
"Pemekaran harus memastikan OAP mendapatkan akses yang luas dalam pemerintahan, politik, ekonomi, dan sosial budaya. Pemekaran juga harus menjamin tidak ada eksploitasi sumber daya alam yang masif dan tidak melanggar hak ulayat masyarakat," ungkap Pares.
Terakhir, Guru Besar FISIPOL UGM Prof. Purwo Santoso menyampaikan bahwa OAP masih sering terjebak konflik dan krisis kepercayaan selama 20 tahun pelaksanaan otonomi khusus di Papua.
"Gagasan mengedepankan kekhususan Papua masih sangat membingungkan, utamanya pada level detail. Pemerintah kerap menggunakan perspektif hitam putih di atas realitas sosial, sehingga masih menyisakan berbagai persoalan," paparnya.
Purwo juga menekankan agar gagasan Papua damai tidak boleh dimaknai hanya dengan sekali dialog.
"Harus ada proses mendialogkan data, tata berpikir, dan melekatkan dalam cara kerja birokrasi, sehingga menjadi ruh baru (untuk Papua damai)," tuturnya.
Komentar Via Facebook :